Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menegaskan, merebaknya virus Human Metapneumovirus (HMPV) sampai saat ini belum menunjukkan gejala yang berbahaya yang menyebabkan tingkatan kematian. BRIN menyebut, virus HMPV jauh lebih ringan dari Covid-19.
Pernyataan itu disampaikan oleh peneliti ahli madya pusat riset kedokteran preklinis dan klinis BRIN, Dr Telly Purnamasari Agus, mengatakan, virus HMPV sejauh ini masih bergejala ringan, maka masyarakat tidak perlu panik.
"HMPV ini penyebabnya berupa virus. Gejalanya memang sama dengan virus lainnya. Jadi, masyarakat tidak perlu panik tetapi tetap waspada," kata Telly Purnamasari Agus kepada awak media, Kamis (16/1/2025).
Telly menyebut, perlunya masyarakat waspada lantaran penyakit yang disebabkan oleh virus, dikhawatirkan justru pada penularannya. Sementara, pencegahan penularan virus, tergantung pada daya tahan tubuh masing-masing warga, yang belum tentu sama.
"Jadi, kalau daya tahan tubuh kita kuat, bisa saja tidak akan terkena HMPV, bahkan mungkin ada seseorang yang belum pernah kena Covid-19, malah justru tertular dengan HMPV," terangnya.
Lebih lanjut, Telly menegaskan penyakit akibat virus HMPV sampai saat ini masih menunjukkan gejala ringan. Akan tetapi, dia mengatakan potensi HMPV ini bisa bergejala berat apabila tidak ditangani dengan cepat.
"Pada kondisi tertentu, disertai dengan infeksi sekunder bakteri, virus HMPV bisa mengakibatkan infeksi bronkitis, pneumonia, yang tentunya penanganan khusus," tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menegaskan human metapneumovirus (HMPV) bukanlah virus baru.
“HMPV ini berbeda dengan Covid-19 yang merupakan new emerging disease. Virus ini sebenarnya lebih masuk kategori reemerging disease karena sudah dikenal sejak 2001,” ujar Hermawan, Senin (13/1/2025).
Menurut Hermawan, meski HMPV pertama kali ditemukan di China, publikasi awal terkait virus ini justru berasal dari Belanda. Di Indonesia sendiri, kasus HMPV sebenarnya sudah ada, tetapi deteksi terhadap virus ini masih terbatas.
“Ketika kasus ini merebak kembali di China, sebenarnya di Indonesia juga sudah ada, hanya persoalan deteksi yang membutuhkan tes cepat molekuler atau genome sequencing,” tambahnya.