Bank Indonesia (BI) menyoroti penurunan suku bunga kredit perbankan berlangsung lebih lambat, yakni hanya turun 24 basis poin dari 9,20% pada awal 2025 -->

Bank Indonesia (BI) menyoroti penurunan suku bunga kredit perbankan berlangsung lebih lambat, yakni hanya turun 24 basis poin dari 9,20% pada awal 2025

Selasa, 23 Desember 2025

 Bank Indonesia (BI) menyoroti penurunan suku bunga kredit perbankan berlangsung lebih lambat, yakni hanya turun 24 basis poin dari 9,20% pada awal 2025 menjadi 8,96% pada November 2025. Padahal, BI telah memangkas suku bunga acuan sebesar 125 basis poin menjadi 4,75% sepanjang 2025.



Beragam faktor menjadi penghambat pertumbuhan kredit, seperti pemberian special rate ke deposan besar, wait and see dunia usaha, hingga permintaan lemah.Hingga November 2025, pertumbuhan kredit perbankan nasional tercatat sebesar 7,9% secara tahunan (year on year/yoy) dengan nilai mencapai Rp 8.196,4 triliun.

Angka ini memang lebih tinggi dibandingkan Oktober 2025 yang sebesar 7% yoy, namun masih jauh di bawah capaian periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 10,79% yoy.

Special Rate Dinilai Jadi Masalah Struktural

Praktik pemberian special rate atau suku bunga khusus kepada deposan besar sebagai salah satu faktor utama yang menahan laju pertumbuhan kredit perbankan nasional sepanjang 2025. Meski likuiditas di sistem keuangan dinilai memadai, pelonggaran kebijakan moneter ke sektor kredit belum berjalan optimal.

Asisten Gubernur sekaligus Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Solikin M Juhro menjelaskan, praktik special rate kepada deposan besar merupakan persoalan struktural yang berdampak langsung pada mahalnya biaya dana atau cost of loanable funds (CoLF) perbankan.

“Selama ini praktik bank-bank untuk memberikan special rate itu masih marak. Special rate itu kan bagian dari cost of loanable fund atau biaya penghimpunan dana,” ujar Solikin dalam taklimat media di kantor BI, Senin (22/12/2025).

Dalam praktiknya, perbankan memang menghimpun dana murah melalui tabungan dan giro (current account saving account/CASA) dengan bunga relatif rendah di kisaran 2,3%-2,5% persen. Namun, untuk dana dalam jumlah besar, deposan kerap meminta perlakuan khusus berupa bunga yang jauh lebih tinggi.

Solikin menjelaskan, ketika bunga deposito standar berada di kisaran 3%, deposan besar sering kali menuntut imbal hasil hingga 5%-6% dengan syarat penempatan dana dilakukan secara eksklusif di satu bank. Kondisi ini otomatis meningkatkan biaya penghimpunan dana perbankan dan mempersempit ruang penurunan suku bunga kredit.

“Kalau itu (bunga) tinggi seperti itu, berarti kan otomatis cost of loanable fund atau biaya penghimpunan dana banknya lebih tinggi. Nah, inilah yang menjadi praktik yang delicate dan sifatnya struktural,” imbuhnya.

Transmisi Kebijakan Moneter Masih Lambat

BI sejatinya telah melakukan pelonggaran moneter secara agresif. Sepanjang dua tahun terakhir, suku bunga kebijakan telah dipangkas total 150 basis poin (bps), dengan penurunan sebesar 125 bps dilakukan sepanjang 2025 sehingga suku bunga acuan berada di level 4,75%.

Namun, Solikin menilai respons perbankan terhadap pelonggaran tersebut masih terbatas. Data BI menunjukkan suku bunga deposito tenor satu bulan hanya turun 67 bps dari 4,81% pada awal 2025 menjadi 4,14% pada November 2025. Penurunan ini lebih lambat dibandingkan penurunan suku bunga kebijakan.

Sementara itu, suku bunga kredit perbankan bahkan turun lebih lambat lagi. Hingga Oktober 2025, bunga kredit hanya turun sekitar 20 bps dari 9,20% menjadi di 9,00%. Lambatnya penurunan bunga simpanan akibat special rate turut menahan penurunan bunga kredit.

Gubernur BI Perry Warjiyo sebelumnya juga mengingatkan deposan besar agar tidak menuntut bunga khusus yang terlalu tinggi.

“Mengimbau dan meminta para deposan besar itu juga bisa kemudian permintaan suku bunga special rate itu bisa diturunkan,” kata Perry dalam RDG BI Desember 2025.

Menurut Perry, special rate yang porsinya mencapai sekitar 27% dari total dana pihak ketiga (DPK) perbankan menjadi salah satu penyebab utama lambatnya penurunan bunga kredit.

Permintaan Kredit Masih Tertahan

Selain faktor biaya dana, BI menilai sisi permintaan (demand side) juga menjadi penyebab perlambatan kredit. Dunia usaha masih cenderung bersikap wait and see dalam mengambil keputusan pembiayaan.

Hal ini tercermin dari tingginya fasilitas kredit yang belum ditarik (undisbursed loans) yang mencapai Rp 2.509,4 triliun pada November 2025.

Banyak korporasi dinilai masih mengandalkan dana internal atau menunda ekspansi di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Kredit konsumsi rumah tangga juga belum menunjukkan penguatan signifikan. Ketidakpastian global, mulai dari perang tarif, risiko geopolitik, proteksionisme perdagangan, hingga tingginya utang publik di berbagai negara, membuat masyarakat cenderung lebih berhati-hati.

“Isunya ini masalah demand. BI itu sudah memberikan insentif yang banyak kepada bank untuk menyalurkan kredit. Namun, kalau kredit itu enggak diserap oleh masyarakat, ya sama saja,” tegas Solikin.

Perlu Koordinasi Lintas Otoritas

Solikin menekankan, kondisi tersebut mencerminkan adanya ketidaksempurnaan pasar yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu kebijakan. Diperlukan koordinasi erat antara BI, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, serta pemerintah.

Isu special rate dan hambatan struktural lainnya juga telah dibahas dalam forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) agar seluruh otoritas memiliki pemahaman dan langkah yang sejalan.

“Nah itu harus kita lihat, dipetakan di mana ada masalahnya,” kata Solikin.

Optimisme Akhir Tahun

Meski menghadapi tantangan struktural dan global, BI tetap optimistis pertumbuhan kredit akan membaik pada akhir tahun. Dengan likuiditas yang longgar dan berbagai insentif yang telah digelontorkan, BI berharap permintaan kredit mulai meningkat.

“Sekarang tumbuh per November 7,74%. Mudah-mudahan insyaallah di Desember, akhir tahun bisa di atas 8%, sebagaimana target BI,” pungkas Solikin.