Kronologi gagalnya merger Honda dan Nissan menjadi sorotan utama di dunia otomotif. Dua raksasa asal Jepang ini sempat berencana bergabung di bawah satu perusahaan induk demi menghadapi persaingan ketat dari produsen kendaraan listrik global. Namun, impian itu kandas setelah Nissan memutuskan menarik diri dari pembicaraan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Dikutip Japan Times, Selasa (11/2/2025), Honda dan Nissan pertama kali mengumumkan pembicaraan merger pada akhir tahun lalu. Jika berhasil, kerja sama ini bisa menciptakan grup otomotif terbesar ketiga di dunia setelah Toyota dan Volkswagen.
Tujuan utama merger ini adalah memperkuat daya saing kedua perusahaan dalam industri kendaraan listrik yang semakin kompetitif. Honda, sebagai produsen terbesar kedua di Jepang, diharapkan bisa membantu Nissan, yang berada di peringkat ketiga, untuk kembali bangkit dari keterpurukan.
Diketahui Nissan memang dalam kondisi sulit dan tidak menguntungkan karena kegagalan menjual produk-produk terbaik mereka di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Alhasil, mereka harus melakukan efisiensi seperti pemutusan hubungan kerja ribuan karyawan, pemangkasan gaji para eksekutif, dan penutupan pabrik.
Kondisi itu berbeda dengan Honda yang saat ini berada dalam performa terbaik. Hal ini yang membuat munculnya perbedaan pandangan antara kedua belah pihak. Honda ingin mengambil kendali penuh dalam merger ini, sementara Nissan berusaha mempertahankan kemandiriannya meski sedang dalam kondisi terpuruk.
Dalam rencana awal, kedua merek tetap akan beroperasi di bawah nama masing-masing, tetapi Honda akan memegang kendali utama, termasuk dalam penunjukan presiden dan mayoritas anggota dewan.
Ketegangan semakin meningkat setelah Honda meminta Nissan menyusun strategi pemulihan yang lebih jelas. Karena tidak mendapatkan jawaban memuaskan, Honda kemudian mengusulkan agar Nissan dijadikan anak perusahaan, sebuah usulan yang langsung ditolak oleh Nissan.
"Kami sepakat untuk bekerja sama, bukan untuk dikendalikan sepenuhnya," ujar salah satu sumber dari Nissan.
Menurut analis otomotif Takaki Nakanishi, Honda tampaknya ingin mengambil alih Nissan demi mempercepat pertumbuhan mereka di industri kendaraan listrik. Sementara itu, Nissan khawatir kehilangan identitas dan otonomi dalam pengambilan keputusan bisnis. Pada akhirnya, ketidaksepakatan ini membuat Nissan resmi membatalkan rencana merger.
Kronologi gagalnya merger Honda dan Nissan ini menimbulkan dampak besar, terutama bagi Nissan yang kini harus mencari strategi baru untuk bertahan. Tanpa dukungan Honda, Nissan menghadapi tantangan besar di pasar kendaraan listrik, terutama di Tiongkok dan Amerika Serikat.
Lebih jauh lagi, kegagalan merger ini membuka peluang bagi Foxconn, raksasa teknologi asal Taiwan, untuk mengambil alih sebagian saham Nissan. Sebelumnya, Foxconn telah menunjukkan minat untuk membeli saham Nissan dari Renault, pemegang saham terbesar perusahaan tersebut.
Dengan situasi ini, masa depan Nissan masih penuh tanda tanya. Apakah mereka akan mencari mitra baru atau menghadapi kemungkinan berada di bawah kendali Foxconn? Yang jelas, kronologi gagalnya merger Honda dan Nissan ini menjadi pelajaran penting tentang bagaimana ambisi besar bisa kandas karena perbedaan visi dan kepentingan.