DRadioQu.com, PESAWARAN — Dugaan penghilangan hak pilih dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Pesawaran pada 24 Mei 2025 memicu kemarahan publik. Aliansi Masyarakat Pesawaran (AMP) dan Forum Komunikasi Anak Lampung (FOKAL) mendatangi kantor KPU dan Disdukcapil Pesawaran pada Kamis (05/06/2025), menuntut transparansi dan akuntabilitas atas berbagai kejanggalan yang terjadi.
Ketua AMP, Saprudin Tanjung, mengecam keras proses PSU yang dinilai cacat prosedur. Menurutnya, ada warga yang secara sah memiliki KTP elektronik dan sebelumnya memilih di Pilkada 27 November 2024, namun tiba-tiba tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) PSU dan tidak diperbolehkan memilih.
"Ini pelanggaran serius. Warga tidak dapat undangan memilih, dan ketika datang ke TPS dengan KTP, malah ditolak. Anehnya, data mereka tiba-tiba dipindah ke wilayah lain tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Ini tidak bisa diterima," tegas Tanjung.
Ketua FOKAL, Abzari Zahroni, menambahkan adanya TPS yang ditutup sebelum waktu resmi dan DPT yang tiba-tiba bertambah.
"DPT bertambah dari 88 menjadi 93, sementara KPU menyebut tidak ada penambahan. Ini inkonsistensi fatal. Lalu kenapa TPS ditutup sebelum waktunya? Proses seperti ini mencederai demokrasi," kata Roni.
KPU menyebut penutupan TPS dilakukan karena seluruh pemilih telah memberikan suara, dengan persetujuan KPPS, saksi paslon, pengawas, dan aparat keamanan. Namun, setelah mendapat teguran dari PPI FOKAL melalui Panwascam Way Ratai, KPPS diminta membuka kembali TPS dan melakukan penghitungan ulang.
"Jika prosesnya sudah benar, mengapa harus dibuka kembali dan dihitung ulang? Ini membuktikan ada yang tidak beres," tegas Zahroni.
FOKAL juga mempersoalkan distribusi surat undangan kepada 14 warga yang diklaim sedang merantau. Hanya berdasarkan surat keterangan kepala dusun, hak pilih mereka dianggap gugur, tanpa mekanisme verifikasi berlapis.
Landasan Hukum: Hak Pilih Adalah Hak Konstitusional
Hak memilih dan dipilih merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945:
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Selain itu, Pasal 199 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan bahwa Warga Negara Indonesia yang telah berusia 17 tahun atau sudah menikah berhak memilih.
Dalam konteks PSU, Pasal 373 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menyebut:
"PSU dilaksanakan terhadap pemilih dalam daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan sebagaimana yang berlaku pada saat pemungutan suara sebelumnya."
Dengan demikian, meniadakan hak memilih kepada warga yang sebelumnya tercatat dalam DPT tanpa proses hukum yang sah adalah pelanggaran hukum.
Desakan untuk Transparansi
AMP dan FOKAL menilai KPU dan Disdukcapil gagal memberikan jawaban konkret atas sejumlah pelanggaran tersebut. Kedua organisasi sipil ini akan kembali menyambangi instansi terkait pada Selasa mendatang.
"KPU dan Disdukcapil jangan bermain-main dengan hak rakyat. Jangan biarkan demokrasi diacak-acak oleh data fiktif dan keputusan sepihak. Jika dibiarkan, publik akan mencurigai ada praktik manipulatif dalam proses PSU ini," ujar Roni.
AMP dan FOKAL juga membuka posko pengaduan bagi masyarakat yang merasa hak pilihnya dicabut secara tidak sah, dan mendorong mereka menyampaikan bukti atau kronologi untuk memperkuat investigasi publik. (Brm/Tim)